Jaga Diri dari Musuh Tak Terlihat

Rendy B. Junior
3 min readJun 21, 2024

--

Di 3 dari 4 tahun saya kuliah S1, saya menggunakan sepeda sebagai kendaraan sehari-hari. Situasi Bandung yang dingin dan acapkali hujan tidak menjadi penghalang, gunakan saja jas hujan.

Lulus kuliah, saya pindah ke ibukota Jakarta untuk bekerja. Kebiasaan tidak berubah, saya gunakan sepeda untuk pergi dari kos ke kantor. Satu tahun, dua tahun.

Di tahun ketiga saya batuk gatal sekali saat solat. Darah terasa mengalir dari tenggorokan ke rongga hidung saat sujud. Merasa ada yang tidak beres, saya pulang lebih cepat. Di kamar kos, batuknya semakin tak tertahan, rasanya seperti tesedak, namun oleh darah. Satu handuk mandi yang lebar itu pun penuh oleh darah.

Panik, saya mengetuk kamar bapak kos dan akhirnya bapak dan ibu mengantar ke rumah sakit terdekat. Tak henti istigfar diucapkan ibu kos sambil mengemudi.

Tiga malam saya habiskan di kamar isolasi. Semua hasil tes TB yang berulang menunjukkan hasil negatif. Dokter pun berkunjung dan menanyakan apakah saya merokok. Saya jawab dengan yakin bahwa saya tidak pernah. Melihat dengan tidak yakin, dokter mengutarakan kemungkinan lain: polusi.

***

Kejadian tersebut terjadi sekitar tahun 2015. Saya masih ingat teman-teman kantor datang menjenguk saya di kamar isolasi setelah dinyatakan bebas TB. Kamar isolasi itu nyaman dan luas, karena saya tidak disatukan dengan pasien lainnya.

Jawaban polusi terus menempel di benak saya. Apa iya? Apa ada penjelasan lain yang lebih masuk akal?

Berselang 5 tahun, saya kembali batuk berdarah lagi, namun ringan, tidak banyak. Pada tahun itu saya mulai aktif lagi bersepeda untuk olahraga. Sejak kejadian kedua, saya cukup yakin alasannya adalah paparan udara luar yang tidak sehat. Ya, polusi.

Belajar dari kesalahan, bahkan sebelum Covid menyerang, saya usahakan menggunakan masker di perjalanan. Kalau tidak, dalam beberapa hari akan mulai terasa sesak.

***

Masalah polusi beberapa tahun ke belakang ini kembali menjadi bahasan. Tingginya polusi di Jabodetabek menjadi spotlight karena seringkali jadi kota paling berpolusi di dunia (dengan ukuran konsentrasi PM2.5 dalam udara). Namun jawaban pemerintah selalu menyepelekan masalah. Rasanya triggered kalau lihat komen pejabat.

Saya sangat skeptis, menurut saya rasa masalah ini tidak akan pernah selesai (saya senang kalau saya salah). Kenapa? Polusi bukan sesuatu yang tampak kasat mata. Sesuatu yang tidak kasat mata tidak akan jadi momok menakutkan. Banjir dan sampah di sungai saja yang kasat mata tidak kunjung selesai.

Ditambah lagi polusi itu dampaknya baru terasa dalam jangka panjang. Tidak langsung terasa. Menambah alasan kurangnya perhatian pemangku kepentingan dalam masalah ini.

***

Sebagai rakyat biasa, cara sederhana yang saya bisa saya lakukan adalah menggunakan transportasi publik, serta menggunakan energi se-efisien mungkin, karena yang saya dengar kebanyakan polusi datang dari pembangkit listrik dan kendaraan. Saya tidak yakin itu ada pengaruhnya karena banyak hal (misal oversupply listrik PLN), tapi tetap saya lakukan saja untuk kenyamanan hati.

Namun yang lebih penting bagi kita, bagi saya, bagi Anda, adalah lindungi diri kita sendiri. Kata dokter saya, paru-paru itu kalau rusak irreversible, tidak bisa disembuhkan. Kalau sudah baret ya sudah. Maka dari itu perlu kita lindungi sebaik mungkin.

Gunakanlah masker saat berada di luar. Sering-seringlah cek tingkat kesehatan udara (lewat aplikasi Nafas atau IQAir misalnya), lindungi diri dan orang terdekat. Saling mengingatkan.

Karena tidak ada yang paling peduli dengan diri kita kecuali diri kita sendiri.

--

--